“Tanpa Atap” membawa pembaca ke dunia unik sebuah pesantren modern yang berbeda dari kebanyakan pesantren lainnya. Raihan Saputra, seorang remaja yang awalnya ragu, memutuskan masuk ke pesantren Al-A’raf, sebuah tempat yang memungkinkan santrinya untuk pulang setiap hari, tanpa kewajiban tinggal di asrama. Di pesantren ini, para santri belajar dengan gaya “santri kalong” -sebuah pendekatan yang memberi kebebasan lebih dan fleksibilitas bagi mereka. Konsep “pesantren tanpa atap” ini memberikan ruang bagi Raihan untuk tetap terhubung dengan keluarga sambil menjalani pendidikan agama. Meski dengan aturan yang tidak seketat pesantren konvensional, Al-A’raf tetap menekankan kedisiplinan dan ketekunan dalam belajar agama. Raihan, yang awalnya enggan mengikuti aturan pesantren, mulai merasakan tuntutan menjadi seorang santri sejati dengan menghadiri pengajian, menjalani aktivitas keagamaan, dan mengikuti proses belajar dengan ikhlas.
Di tengah perjalanan ini, Raihan harus menghadapi konflik batin antara keinginannya untuk masuk jurusan IPA, ambisinya untuk membanggakan orang tua, dan godaan dari pergaulan di antara teman-temannya yang seringkali malas belajar. Kehadiran sosok Humairah, santriwati cerdas dan anggun, mendorongnya untuk mulai menata niat dan memperbaiki perilaku.
Novel ini bukan hanya kisah tentang remaja yang menemukan dirinya, tetapi juga menggambarkan pesantren Al-A’raf sebagai alternatif baru bagi pendidikan agama -sebuah pesantren modern yang tetap mengakar pada nilai-nilai Islam, namun menawarkan cara yang lebih inklusif dan terbuka bagi generasi muda untuk belajar dan berkembang.